
ALKISAH, ada seorang Badui datang kepada Rasulullah SAW lantas
beriman kepadanya dan mengikuti (ajaran Islam). Sang Badui bertanya
(kepada Nabi), Apakah saya hijrah bersamamu? Maka Rasulullah SAW
menitipkan orang Badui tersebut kepada sahabatnya untuk hijrah. Ketika
terjadi perang Khaibar, Rasulullah memperoleh harta rampasan dan
membagi-bagikannya. Nabi SAW memberi bagian buat orang Badui itu dan
menitipkan bagiannya itu kepada sahabat. Saat pembagian, orang Badui
tidak ada, sedang menggembalakan unta mereka (para sahabat). Ketika
datang, para sahabat menyerahkan bagian itu kepadanya, Ia lantas
bertanya, “Apakah ini?” Mereka menjawab, “Ini adalah bagian yang telah
ditetapkan oleh Rasulullah untukmu.” Orang Badui mengambil bagian
tersebut dan membawanya kepada Nabi SAW. ”Tidak karena ini saya
mengikutimu, akan tetapi saya mengikutimu agar leherku ini ditembus oleh
anak panah, hingga saya mati lalu masuk surgea.” Rasulullah SAW
berkata, “Bila kamu (jujur) pada Allah, maka Allah akan menepati
(janji-Nya) kepadamu.”
Setelah itu para sahabat bangkit untuk memerangi musuh. Kemudian
orang Badui dibawa ke (hadapan) Nabi SAW dalam keadaan syahid. Lantas
Rasulullah SAW bersabda, “Diakah orang itu ?” Mereka (para sahabat)
menjawab, “Benar.” Rasulullah SAW bersabda, “Ia jujur kepada Allah, maka
Allah membuktikan (janji-Nya).” (Sunnah An-Nasai 4/60. Kitabul Janaiz,
bab Ash-Shalatu ‘Alasy-Syuhada).
***
Seorang ideolog membagi manusia menjadi enam kelompok;
muslim-mujahid, muslim yang duduk-duduk (tidak mau berjuang),
muslim-atsim (pendosa), dzimmi-mu’ahid (kafir yang telah dilindungi oleh
Negara Islam karena telah mengadakan perjanjian damai dengannya dan
siap membayar pajak sebagai gantinya), muhayid (orang kafir yang
berpihak kepada Islam) atau muharib (orang kafir yang memerangi Islam).
Masing-masing kelompok diatas memiliki hukumnya tersendiri dalam
pandangan Islam. Dengan batasan inilah individu maupun intitusi
ditimbang, apakah ia berhak mendapatkan loyalitas atau berhak memperoleh
permusuhan/pengingkaran.
Terhadap golongan muslim-mujahid, kita mencintai, memberikan
loyalitas, mengunjungi, menjalin hubungan baik (al Mawaddata fil Qurba)
dan memenuhi kebutuhan mereka. Terhadap muslim yang tidak berjuang, kita
membangkitkan semangat, menasihati dan mencari ‘udzur buat mereka.
Terhadap muslim yang suka berbuat dosa, kita memperingatkan mereka dan
mengajak perjanjian terhadap mereka, tidak menampakkan permusuhan kepada
mereka, bahkan kita dituntut unt uk bersikap toleran (tasamuh) dan adil
terhadap mereka. Mereka memiliki hak dan kewajiban sebagai warga Negara
sebagaimana kita.
Islam mengenal istilah tajarrud (kemurnian dan totalitas), di mana
membersihkan hati dan pikiran dari dominasi internal (syubhat, syahwat
dan ghoflah/kelalaian) dan prinsip-prinsip dan pengaruh orang lain.
Secara lafdziyah, tajarrudu lil amri’ berartinya bersungguh-sungguh pada suatu urusan.
Tajarrud merupakan akhlak yang harus dimiliki oleh barisan mukmin
yang berjuang dalam menegakkan kalimat Allah, bahkan ia merupakan salah
satu pilarnya. Tanpa tajarrud yang benar barisan kaum beriman tidak akan
bangkit dan tidak akan menunaikan perannya.
Tegakknya Islam termasuk diserukan oleh tokoh-tokoh semisal mereka,
yaitu orang-orang yang telah menghiasi diri dengan kejujuran, ‘iffah
(menjaga diri), kejernihan batin, ketulusan dalam beramal, keteguhan
dalam memegang prinsip, serta terbebas dari motif-motif dunia dan
syahwat.
Abul Ala Al Maududi dalam kitabnya “Nadzariyyatul Islam wa Hadyuhu”
(hal. 84) pernah mengatakan, dakwah inilah yang akan menyedot hati
orang-orang yang di dalam diri mereka masih terdapat kebaikan dan
keshalihan.
All out
Di antara indikator tajarrud yang benar adalah bahwa seseorang
menakar orang lain, organisasi lain dan segala sesuatu dengan takaran
(timbangan) dakwah. Ia menentukan sikapnya terhadap mereka semua sesuai
dengan timbangan tersebut.
Di antara tanda-tanda adanya akhlak tajarrud adalah mempersembahkan
jiwa dengan mudah (tanpa ada rasa keberatan) di jalan Allah SWT.
Orang yang bercita-cita menegakkan al haq di muka bumi ini harus
berhasil mewujudkannya terlebih dahulu di dalam jiwa, nurani, dan
kehidupan mereka, dalam bentuk aqidah (keyakinan), akhlak (perilaku),
ibadah, dan perilaku sehari-hari.
Abu Bakar ra telah menginfakkan hartanya untuk menyelamatkan
orang-orang yang tertindas di Makkah, ia melindungi orang-orang asing
yang telah menyatakan janji setia (baiat) kepada kepemimpinan Rasulullah
SAW teguh dalam janji, totalitas (all out) dalam beramal dan memurnikan
niat hanya kepada Allah SWT. Kemudian turunlah beberapa ayat al-Quran
yang member khabar gembira kepada Abu Bakar ra atas amal mulia yang
telah dilakukan dan dipersembahkan untuk Allah SWT semata.
“Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu,
yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya,
padahal tidak ada seorang pun memberikan suatu nikmat kepadanya yang
harus dibalasnya, tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari
keridhaan Tuhannya Yang Maha Tinggi. Dia kelak benar-benar mendapat
kepuasan.” (QS. Al Lail (92) : 17-21).
Sungguh sikap Abu Bakar ra tidak dapat ditakar ketika ia ditanya,
Apa yang engkau sisakan untuk keluargamu ? Ia menjawab, Aku tinggalkan
untuk mereka Allah dan Rasul-Nya (Nurul Yaqin- Perang Tabuk hal. 245).
Sikap yang diteladankan oleh Abu Bakar dalam masa paceklik, jaisyul
‘usrah (Perang Tabuk) tersebut menggambarkan kepribadian beliau, dalam
tiga indikator.
Pertama, mempersembahkan harta secara total (all out) hanya kepada Allah SWT.
Kedua, tawakkal secara mutlak kepada Allah SWT.Hal ini tercermin
dalam ucapannya, Saya tinggalkan untuk mereka Allah SWT dan Rasul-Nya.
Ketiga, penjelasan bahwa pada hakikatnya harta itu milik Allah, dan
Abu Bakar hanyalah diserahi/dititipi untuk mengelola dengan sebaik
mungkin. Jika sedikit saja dikeluarkan untuk kebatilan berarti mubadzir.
Jika dibelanjakan untuk menegakkan kebenaran sampai minus (habis),
bukan dikategorikan mubadzir. Ia pantang mengelola harta bertentangan
dengan Sang Pemilik-Nya.
Orang yang meyakini keagungan dan kebesaran Islam yang diajarkan oleh
al-Quran dan as-Sunnah, serta jiwanya memberi kesaksian bahwa (jalan)
inilah yang haq, yang tiada setelahnya kecuali kebatilan dan kesesatan
ia akan mempertaruhkan jiwa dan raganya hanya kepada Allah SWT dan
Islam.
Ini bisa dilihat dari sikap Nabiullah Ibrahim alaihissalam, sekalipun
di tengah-tengah mereka terdapat ayah, anak-anak dan keluarganya.
Beliau bersama pengikutnya berlepas diri dari lingkungan sosialnya serta
patung-patung yang mereka sembah. Ia mengingkari kebatilan, dan
menjauhi kaum paganis untuk menegakkan Islam.
Sekarang marilah bertanya pada diri kita. Kita berIslam masih secara sampingan atau sudah totalitas?.
Perumpamaan totalitas berislam ibarat orang yang berjuang di Jalan
Allah dengan orang yang duduk-duduk. Sesungguhnya Allah membedakan
antara orang yang berjuang di Jalan Allah dan yang duduk-duduk saja.
Orang yang berjuang di Jalan Allah derajatnya lebih tinggi daripada orang yang duduk/diam saja.
“Yaitu kamu beriman kepada Allah dan RasulNya dan berjihad di jalan
Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu
mengetahui.” [Ash Shaff 11]
Dalam surat lain, Allah berfirman;
“Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang)
yang tidak mempunyai ‘uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan
Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang
berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu
derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik
(surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang
duduk dengan pahala yang besar.” [An Nisaa' 95].*
Sumber :
www.hidayatullah.com