Halaman

Jumat, 17 Agustus 2012

Bercermin Pada Kesabaran Utsman dan Kokohnya Umar


“Dan berilah perumpamaan kepada mereka(manusia), kehidupan dunia sebagai air hujan yang kami turunkan dari langit, maka menjadi subur karenanya tumbuh-tumbuhan di muka bumi, kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin, dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (Q.S. Al Kahfi: 45)
Al Qur’an menjadi kiblat dan teladannya. Karena itulah menjadikan murninya ibadah dan keagungannya. Seorang laki-laki yang kaya raya, dipenuhi dengan kekayaan duniawi di sekitarnya tapi tetap teguh dan kuat dijalan Allah. Atas kesabarannya menahan diri dari kemewahan dunia, ia habiskan waktu siangnya untuk puasa dan malamnya untuk mendekatkan dirinya dengan Sang Pemilik segalanya. Tidak tergoda dengan berbagai makanan lezat dan empuknya tempat tidur mewah, hanya karena perasaan cintanya pada Allah. Dia adalah seorang laki-laki yang telah mendapat dua orang putri dari seorang manusia pilihan Rasulullah saw, yaitu Utsman bin Affan.
Laki-laki kaya raya ini telah menemukan obat mujarab penangkal godaan duniawi, yaitu dengan kedekatan dirinya pada Allah dan Al Qur’an. Ayat di atas yang selalu membuatnya berguncang dan selalu di ulang-ulangnya. Seorang manusia yang hanya menganggap kekayaan dunia seperti daun kering, kecuali jika dibelanjakan dijalan Allah maka akan berubah menjadi kebaikan dan pahala yang besar.
Kesabaran yang perlu perjuangan besar adalah saat kita berada di puncak kejayaan, terlalu banyak pilihan hingga kita terlalu sulit untuk menjadikan diri ini tidak terlena dengan indahnya dunia. Hanya jiwa yang besar dan kokoh yang selalu dalam dekapan Allah, mampu selamat dari gemerlap dunia. Sabarnya Utsman yang membuat perjanjian dengan dirinya untuk membebaskan hamba sahaya setiap hari Jum’at, dan membantu penduduk mekah saat masa paceklik. Semua dilakukannya untuk mengharap keridhaan Tuhannya.
Utsman seorang yang sangat unik dan luar biasa, memiliki kasih sayang yang sangat besar dan senang dengan menyambung silaturahim. Itu adalah cerminan dari dekatnya hubungan dengan Allah di waktu siang dan malamnya. Banyaknya puasa dan kekuatan bangun di malam harinya.
Dan sekarang mari kita bercermin kepada seorang Umar bin Khattab, kekokohan ‘azamnya untuk merubah diri lebih baik. Dan inilah ungkapan yang sering diulangnya:
“Dahulu engkau amatlah rendah, lalu Allah tinggikan kedudukanmu, dahulu engkau sesat kemudian Allah berikan petunjuk kepadamu, dahulu engkau hina, kemudian Allah muliakan dirimu. Maka, apakah yang akan engkau katakan kepada Tuhanmu esok (di akhirat)?”
Dialah manusia yang sangat lembut hatinya, saat menjadi imam shalat tangisnya yang terdengar hingga shaf terakhir. Yang selalu mencucurkan airmata di setiap suapan makanan lezat, minuman dingin yang menyegarkan. Seorang laki-laki yang benar-benar takut akan kebesaran Allah, tunduk dan patuh kepada-Nya dengan penuh penghormatan dan rasa malu bila menghadap–Nya dalam keadaan kekurangan.
Padahal Rasulullah telah mengabarkan jaminan surga baginya. Namun ia sungguh lebih kuat dari semua syahwat dan godaan, hingga seolah-olah ia benar-benar ma’shum (terjaga) dari segala kesalahan. Ia sangat takut, berhati-hati dan malu kepada Allah.
Bagaimana ia mencontoh Rasulullah yang memenuhi malamnya dengan tahajjud dan beribadah pada-Nya, serta siangnya dipenuhi dengan puasa dan jihad. Inilah penghormatan sebaik-baik penghormatan. Inilah ungkapan rasa syukur kepada Allah dengan sebaik-baik syukur. Hubungannya dengan Allah bukan karena ketakutan akan siksanya tetapi karena kecintaan dan pengagungan kepada Allah dan rasa malu pada-Nya.
Ia senantiasa memacu dirinya melampaui batas kemampuannya untuk meraih sebanyak-banyak makrifat dan syukur kepada sang penciptanya. Rasa malunya kepada Allah telah menjauhkannya dari kemewahan dunia, bahkan dari ketenangan dunia. Ia dan keluarganya tidak mau makan kecuali makanan pokok untuk kekuatan tubuhnya, tidak pula menginginkan kehidupan kecuali sekadarnya.
Dengan cermin yang begitu mempesona itu, semoga mampu menjadikan diri kita terpacu untuk melakukan kebaikan dan meluruskan niat karena kecintaan kita kepada Allah. Bersama-sama kita berlomba dalam kebaikan, mengingatkan dalam kebenaran. Mengingatkan akan adanya akhirat, dan perhitungan amal serta pertanggungjawaban setiap amalan.
“Bacalah catatan amalmu, cukuplah dirimu sendiri hari ini sebagai penghisab terhadapmu,” (QS. Al Isra: 14)
Setiap saat memantau diri dan setiap amalan kita. Apakah yang telah kita berikan kepada Allah? Apakah telah cukup bekal kita untuk menghadap-Nya?
“Apakah kamu mengira bahwa kami menciptakan kalian dengan sia-sia dan sesungguhnya kalian akan dikembalikan?”(QS Al Mukminun: 115)
Berharap kita kembali kepada-Nya dengan sebaik-baik iman, Islam dan ketaqwaan. Hingga Allah ridha dan masukkan kita ke dalam surga-Nya. Aamiin.


Sumber: http://www.dakwatuna.com/2012/08/22424/bercermin-pada-kesabaran-utsman-dan-kokohnya-umar/#ixzz23oRSwb2V

Rabu, 15 Agustus 2012

Kisah di Satu Pertiga Malam


Aku menangis meringis
Dalam sujud yang diam
Teringat dosa yang tercipta
Bagai benih-benih tersemai
Aku menunduk mengemis
Akan ampunan dunia yang kelam
Mengharap surga, terhindar neraka
Mengharap cinta, ridha dari-Nya
Menyulam doa dalam damai
Menyunting surga penuh harap
Membasuh muka dalam taubat
Menyiram iman yang telah berkarat
Satu pertiga malam tanpa cahaya
Deraian deras tanda sesal
Sesegukan tanda tak kuat
Membendung nafsu, khilaf bermaksiat
Ampuni aku ya Rabbi
Yang lemah dalam iman
Terbuai nafsu dalam berbuat nista
Yang entah kapan akan berakhir.
Hanya maaf, ampunan-Mu
Penyejuk batinku
Hanya huda petunjuk-Mu
Jalan kembaliku
Itulah kisah di pertiga malam
Dalam kelam tanpa rembulan
Mengharap cinta dari Tuhan
Walau diri terlalu kelam
Oleh balutan nista tak terhingga


Sumber: http://www.dakwatuna.com/2012/08/22339/kisah-di-satu-pertiga-malam/#ixzz23bHLxLqf

Selasa, 07 Agustus 2012

Ramadhan, Penawar Manis Keangkuhan

Memahami segala kondisi dan keadaan, kita akan menemukan hangatnya sebuah persaudaraan. Bahwa orang-orang merasa nyaman dengan diri kita. Dan membantu orang lain merasa tenang berada di dekat kita. Meski pertemuan singkat, namun tak menghalangi hangatnya dekapan persaudaraan yang mungkin akan terjalin dalam jangka panjang.
Buka puasa bersama di bulan Ramadhan, mungkin salah satu jalan kita bisa memahami segala kondisi. Berinteraksi dengan orang-orang yang mungkin belum dikenal, menjalin komunikasi, saling bertutur sapa, hingga akhirnya terjalin ukhuwah (persaudaraan dalam Islam). Merasakan kedekatan antar sesama muslim yang jarang bertemu. Rasa saling empati, hingga mendatangkan rasa itsar -saling mendahulukan saudara seiman- meski tinggal di negeri muslim minoritas.
Dan mungkin ini pula yang menjadi salah satu sasaran organisasi Komunitas Masyarakat Muslim Indonesia di Jepang. Sebuah organisasi perkumpulan masyarakat muslim Indonesia yang tinggal di wilayah Tokyo dan sekitarnya. Mengadakan buka puasa bersama (Bukber) setiap Ahad di bulan Ramadhan. Menjamu para warga muslim di bulan suci Ramadhan, siapa saja, tak kenal warna kulit, untuk berbuka puasa bersama. Hingga manisnya ukhuwah, indahnya Ramadhan masih bisa dirasakan meski tinggal di negeri seberang.
Sangat disayangkan, jika suasana ruhiyah tinggi dalam berukhuwah pada acara buka puasa bersama, harus tereliminasi hanya karena ada keangkuhan yang dipermanis oleh orang-orang yang merasa tak nyaman dengan kondisi. Merasa terganggu dengan kunjungan beberapa warga yang membawa para jundi-jundi ciliknya, untuk ikut menikmati suasana Ramadhan. Tak bisa memahami bahwa mereka datang dengan si cilik dari tempat jauh, berganti kereta dari stasiun ke stasiun, di tengah terik musim panas, perut kosong kerongkongan dahaga, demi sebuah niatan baik. Ingin mengenalkan indahnya Ramadhan pada si cilik melalui Bukber. Lebih awal datang ke acara, menyimak live kajian taushiyah dari beberapa ustadz yang sengaja diundang dari Indonesia hingga shalat tarawih berjamaah.
Suasana tawa cilik, lari-lari kecil sang jundi, dan hiruk pikuk para ibu yang berusaha membantu penyediaan ta’jil terasa menjadi gangguan-gangguan yang harus ‘ditertibkan’. Hingga tak jarang beberapa pasang mata mulai mendelik lalu bermuka masam. Melirik kanan kiri dengan wajah tak ramah.
Hingga tak jarang terdengar peluit dari mulut “Sssttt…! Sssssttt…!” Yang berakhir pada sebuah instruksi dari mulut ke mulut agar anak-anak cilik dihentikan dari tawanya, diharuskan duduk manis menyimak kajian. Sedangkan untuk para ibu yang sudah terlanjur dicap ‘hiruk pikuk’ di tengah taushiyah, dipaksa harus terhentak dengan pertanyaan eksplisit.
“Kenapa orang Islam, tapi jarang yang memiliki perilaku Islam? Sibuk sendiri di tengah Kajian Islam….!”
Sebuah “perseteruan” klasik yang mungkin saja terjadi di manapun. Tidak hanya di Indonesia yang bermayoritas muslim, hatta di Jepang pun yang muslim minoritas, itu terjadi. Anak-anak menjadi “momok” yang mengganggu jalannya kekhusyuan tarawih, gotong royong para ibu menyediakan ta’jil menjadi “hiruk pikuk” yang merusak indahnya seruan ceramah.
Entah tepat atau tidak, saya ingin mengatakan, sebetulnya mereka yang tak nyaman dengan keadaan “aktivis” anak-anak kecil dan “hiruk pikuk ukhuwah” para ibu menyediakan ta’jil adalah orang-orang yang sedang mempermanis keangkuhan diri. Mempermanis keangkuhan dalam arti mencari kenyamanan diri, tanpa peduli kenyamanan orang lain. Menolak apa yang selayaknya diterima. Lalu menafsirkan negatif orang-orang yang sebetulnya memiliki keikhlasan –ingin memaknai Ramadhan lebih indah bagi keluarga– menjadi orang-orang yang tidak berperilaku Islami.
Mari kita belajar dari sang Rasulullah shalallahu`alaihi wassalam. Yang dengan muka masamnya pada seorang buta telah ditegur Allah.
QS Abasa menjelaskan betapa Allah tidak menyenangi orang-orang yang mempermanis keangkuhan. Meski kita tahu, alasan “Sang Utusan” bermuka masam adalah “manis”. Ingin menyampaikan indahnya Islam pada para pembesar Quraisy. Hingga merasa diinterupsi ketika sedang melaksanakan tugas mulia; Berdakwah, Lalu beliau tak nyaman oleh pertanyaan seorang buta Abdullah Ibn Ibnu Maktum. Hingga kemudian Rasulullah disadarkan dengan teguran. Yang darinya Ia, selalu mengingat kekhilafannya, berlaku manis dengan keangkuhan.
“Selamat datang duhai orang yang karenanya aku ditegur Rabbku!” Sejak peristiwa itu, Sang nabi selalu tersenyum menyambut Abdullah Ibn Maktum, yang lalu mentahrimkannya dalam majelis. Dengan menggandeng tangan, menggenggam jemarinya lalu mendudukkan di sebelahnya. Beliau memahami, setiap pribadi perlu dihargai, untuk merasa nyaman. Bahwa keangkuhan walau beralasan manis tidaklah baik.
Mari kita pun belajar tentang menghargai sang aktivis cilik dari Rasulullah. Betapa beliau tak segan bersujud panjang saat sang cucu menaiki punggungnya. Tak ada larangan khusus yang kemudian beliau berikan kepada Hasan Hussein sang cucu agar tidak bergaduh saat shalat. Semata beliau memahami, begitulah dunia anak. Belajar dari lingkungannya dengan cara bermain. Learning by doing.
Berusaha mengerti bahwa dunia anak adalah fase mula`abah (bermain). Para aktivis cilik tidak bisa langsung ditertibkan hingga terduduk manis, rapi tak bersuara, tak berlari ke sana kemari, hingga mendapat pujian. Karena dari bermainnya sebenarnya mereka tengah menyimak suasana Islami penuh keakraban.
Sesungguhnya, memahami dunia anak kecil adalah dunia yang tidak sama dengan kaum dewasa tanda bahwa kita mampu mengekang keangkuhan yang mungkin terasa manis. Dengan tidak beralasan; anak kecil berisik, mengganggu ibadah, tidak tahu adab majelis dan masjid, dsb.
Mempermanis keangkuhan adalah situasi jiwa yang sering menggoda kebanyakan kita tanpa sadar. Merasa diri perlu dihargai namun enggan menghargai. Ingin dimengerti tapi tak mau mengerti. Ingin dipahami tapi tak mau memahami. Ingin kenyamanan tapi tak mau memberi kenyamanan.
Kembali pada hakikat puasa, sesungguhnya shaum di bulan suci Ramadhan adalah kesanggupan kita menguasai diri, mengendalikan syahwat dan meredam hawa nafsu, terhadap apa saja, sekecil apapun. Pun Ramadhan mengajarkan kita untuk berjiwa sosial. Mampu merasakan kondisi tak hanya pada orang-orang “papa,” namun juga belajar berempati akan perasaan orang-orang di sekeliling kita.
Mari kita jadikan Ramadhan sebagai momentum untuk menghapus manisnya keangkuhan yang mungkin terjadi pada diri tanpa disadari. Darinya sang nafsu diajarkan untuk tidak merasa angkuh melihat hal yang tak nyaman dengan diri. Dengannya sang ego diarahkan untuk sanggup menguasai diri, tak terkecuali pada berisiknya anak-anak kecil di sela-sela shalat tarawih ataupun ceramah.
Karena berpuasa Ramadhan, bukan sekadar benar secara hukum, tapi hampa secara makna. Jangan sampai Ramadhan kita terkoyak hanya karena keangkuhan yang dipermanis yang membuat beberapa hati mungkin tersakiti tanpa disengaja. Namun sebaliknya, dengan Ramadhan, mari kita temukan hangatnya persaudaraan.
Assalamu'alaikum.. selamat datang di blog LDK Baabussalam UNTIRTA kawan :)