Memahami segala kondisi dan keadaan, kita akan menemukan hangatnya
sebuah persaudaraan. Bahwa orang-orang merasa nyaman dengan diri kita.
Dan membantu orang lain merasa tenang berada di dekat kita. Meski
pertemuan singkat, namun tak menghalangi hangatnya dekapan persaudaraan
yang mungkin akan terjalin dalam jangka panjang.
Buka puasa
bersama di bulan Ramadhan, mungkin salah satu jalan kita bisa memahami
segala kondisi. Berinteraksi dengan orang-orang yang mungkin belum
dikenal, menjalin komunikasi, saling bertutur sapa, hingga akhirnya
terjalin ukhuwah (persaudaraan dalam Islam). Merasakan kedekatan antar
sesama muslim yang jarang bertemu. Rasa saling empati, hingga
mendatangkan rasa itsar -saling mendahulukan saudara seiman- meski
tinggal di negeri muslim minoritas.
Dan mungkin ini pula yang
menjadi salah satu sasaran organisasi Komunitas Masyarakat Muslim
Indonesia di Jepang. Sebuah organisasi perkumpulan masyarakat muslim
Indonesia yang tinggal di wilayah Tokyo dan sekitarnya. Mengadakan buka
puasa bersama (Bukber) setiap Ahad di bulan Ramadhan. Menjamu para warga
muslim di bulan suci Ramadhan, siapa saja, tak kenal warna kulit, untuk
berbuka puasa bersama. Hingga manisnya ukhuwah, indahnya Ramadhan masih
bisa dirasakan meski tinggal di negeri seberang.
Sangat
disayangkan, jika suasana ruhiyah tinggi dalam berukhuwah pada acara
buka puasa bersama, harus tereliminasi hanya karena ada keangkuhan yang
dipermanis oleh orang-orang yang merasa tak nyaman dengan kondisi.
Merasa terganggu dengan kunjungan beberapa warga yang membawa para
jundi-jundi ciliknya, untuk ikut menikmati suasana Ramadhan. Tak bisa
memahami bahwa mereka datang dengan si cilik dari tempat jauh, berganti
kereta dari stasiun ke stasiun, di tengah terik musim panas, perut
kosong kerongkongan dahaga, demi sebuah niatan baik. Ingin mengenalkan
indahnya Ramadhan pada si cilik melalui Bukber. Lebih awal datang ke
acara, menyimak live kajian taushiyah dari beberapa ustadz yang sengaja diundang dari Indonesia hingga shalat tarawih berjamaah.
Suasana
tawa cilik, lari-lari kecil sang jundi, dan hiruk pikuk para ibu yang
berusaha membantu penyediaan ta’jil terasa menjadi gangguan-gangguan
yang harus ‘ditertibkan’. Hingga tak jarang beberapa pasang mata mulai
mendelik lalu bermuka masam. Melirik kanan kiri dengan wajah tak ramah.
Hingga
tak jarang terdengar peluit dari mulut “Sssttt…! Sssssttt…!” Yang
berakhir pada sebuah instruksi dari mulut ke mulut agar anak-anak cilik
dihentikan dari tawanya, diharuskan duduk manis menyimak kajian.
Sedangkan untuk para ibu yang sudah terlanjur dicap ‘hiruk pikuk’ di
tengah taushiyah, dipaksa harus terhentak dengan pertanyaan eksplisit.
“Kenapa orang Islam, tapi jarang yang memiliki perilaku Islam? Sibuk sendiri di tengah Kajian Islam….!”
Sebuah
“perseteruan” klasik yang mungkin saja terjadi di manapun. Tidak hanya
di Indonesia yang bermayoritas muslim, hatta di Jepang pun yang muslim
minoritas, itu terjadi. Anak-anak menjadi “momok” yang mengganggu
jalannya kekhusyuan tarawih, gotong royong para ibu menyediakan ta’jil
menjadi “hiruk pikuk” yang merusak indahnya seruan ceramah.
Entah
tepat atau tidak, saya ingin mengatakan, sebetulnya mereka yang tak
nyaman dengan keadaan “aktivis” anak-anak kecil dan “hiruk pikuk
ukhuwah” para ibu menyediakan ta’jil adalah orang-orang yang sedang
mempermanis keangkuhan diri. Mempermanis keangkuhan dalam arti mencari
kenyamanan diri, tanpa peduli kenyamanan orang lain. Menolak apa yang
selayaknya diterima. Lalu menafsirkan negatif orang-orang yang
sebetulnya memiliki keikhlasan –ingin memaknai Ramadhan lebih indah bagi
keluarga– menjadi orang-orang yang tidak berperilaku Islami.
Mari
kita belajar dari sang Rasulullah shalallahu`alaihi wassalam. Yang
dengan muka masamnya pada seorang buta telah ditegur Allah.
QS
Abasa menjelaskan betapa Allah tidak menyenangi orang-orang yang
mempermanis keangkuhan. Meski kita tahu, alasan “Sang Utusan” bermuka
masam adalah “manis”. Ingin menyampaikan indahnya Islam pada para
pembesar Quraisy. Hingga merasa diinterupsi ketika sedang melaksanakan
tugas mulia; Berdakwah, Lalu beliau tak nyaman oleh pertanyaan seorang
buta Abdullah Ibn Ibnu Maktum. Hingga kemudian Rasulullah disadarkan
dengan teguran. Yang darinya Ia, selalu mengingat kekhilafannya, berlaku
manis dengan keangkuhan.
“Selamat datang duhai orang yang
karenanya aku ditegur Rabbku!” Sejak peristiwa itu, Sang nabi selalu
tersenyum menyambut Abdullah Ibn Maktum, yang lalu mentahrimkannya dalam
majelis. Dengan menggandeng tangan, menggenggam jemarinya lalu
mendudukkan di sebelahnya. Beliau memahami, setiap pribadi perlu
dihargai, untuk merasa nyaman. Bahwa keangkuhan walau beralasan manis
tidaklah baik.
Mari kita pun belajar tentang menghargai sang
aktivis cilik dari Rasulullah. Betapa beliau tak segan bersujud panjang
saat sang cucu menaiki punggungnya. Tak ada larangan khusus yang
kemudian beliau berikan kepada Hasan Hussein sang cucu agar tidak
bergaduh saat shalat. Semata beliau memahami, begitulah dunia anak.
Belajar dari lingkungannya dengan cara bermain. Learning by doing.
Berusaha mengerti bahwa dunia anak adalah fase mula`abah (bermain).
Para aktivis cilik tidak bisa langsung ditertibkan hingga terduduk
manis, rapi tak bersuara, tak berlari ke sana kemari, hingga mendapat
pujian. Karena dari bermainnya sebenarnya mereka tengah menyimak suasana
Islami penuh keakraban.
Sesungguhnya, memahami dunia anak kecil
adalah dunia yang tidak sama dengan kaum dewasa tanda bahwa kita mampu
mengekang keangkuhan yang mungkin terasa manis. Dengan tidak beralasan;
anak kecil berisik, mengganggu ibadah, tidak tahu adab majelis dan
masjid, dsb.
Mempermanis keangkuhan adalah situasi jiwa yang
sering menggoda kebanyakan kita tanpa sadar. Merasa diri perlu dihargai
namun enggan menghargai. Ingin dimengerti tapi tak mau mengerti. Ingin
dipahami tapi tak mau memahami. Ingin kenyamanan tapi tak mau memberi
kenyamanan.
Kembali pada hakikat puasa, sesungguhnya shaum di
bulan suci Ramadhan adalah kesanggupan kita menguasai diri,
mengendalikan syahwat dan meredam hawa nafsu, terhadap apa saja, sekecil
apapun. Pun Ramadhan mengajarkan kita untuk berjiwa sosial. Mampu
merasakan kondisi tak hanya pada orang-orang “papa,” namun juga belajar
berempati akan perasaan orang-orang di sekeliling kita.
Mari kita
jadikan Ramadhan sebagai momentum untuk menghapus manisnya keangkuhan
yang mungkin terjadi pada diri tanpa disadari. Darinya sang nafsu
diajarkan untuk tidak merasa angkuh melihat hal yang tak nyaman dengan
diri. Dengannya sang ego diarahkan untuk sanggup menguasai diri, tak
terkecuali pada berisiknya anak-anak kecil di sela-sela shalat tarawih
ataupun ceramah.
Karena berpuasa Ramadhan, bukan sekadar benar
secara hukum, tapi hampa secara makna. Jangan sampai Ramadhan kita
terkoyak hanya karena keangkuhan yang dipermanis yang membuat beberapa
hati mungkin tersakiti tanpa disengaja. Namun sebaliknya, dengan
Ramadhan, mari kita temukan hangatnya persaudaraan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar